Mediaonline.co.id, JAKARTA – Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) Petrus Selestinus mengatakan sejak 2017 seiring dengan pembubaran HTI, resistensi berbagai pihak menuntut FPI dibubarkan terus menggema.
“Realitas ini semestinya menjadi referensi bagi Menteri Agama Fachrul Razi untuk tidak merekomendasikan perpanjangan izin bagi FPI,” kata Petrus Selestinus dalam keterangan persnya, Minggu (1/12).
Menurut Petrus, Fachrul Razi justru tergoda dengan janji FPI mau mengubah visi dan misinya dan akan “setia kepada Pancasila dan NKRI” dengan sebuah “Surat Pernyataan”.
“Pertanyaannya siapa yang sedang dikadali: FPI-kah, Pemerintah-kah atau publik,” tanya Petrus.
Sebagai Menag semestinya Fachrul Razi tahu bahwa mengubah ideologi sebuah ormas tidaklah mudah dan tidak mungkin hanya dengan Surat Pernyataan di atas materai Rp6000, tetapi perlu sosialisasi.
Ideologi FPI tidak serta merta lenyap dalam sekejap dan dalam sekejap pula tumbuh kesetiaan kepada Pancasila, apalagi mengubahnya-pun pasti lewat “Keputusan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan” entah muktamar (bukan Surat Pernyataan), sesuai kaidah di internal FPI.
“Karena itu sangat disayangkan sikap Menag Fachrul Razi yang mudah dikibuli atau mengibuli FPI hanya dengan Surat Pernyataan di atas materai, izin FPI bisa diperpanjang. Ini jelas tidak profesional dan pertanda Fachrul Razi dari lubuk hati yang paling dalam tidak serius menyelesaikan ancaman Radikalisme dan Intoeransi di negeri ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia ini membeberkan proses FPI mendapat izin. Menurutnya, FPI diterima pendaftarannya pada 20 Juni 2014. Kemudian Badan Hukum HTI disahkan pada 2 Juli 2014 dan sebelumnya UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Ormas dicabut dan dibentuk UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas pada 22 Juli 2013, semuanya berlangsung menjelang akhir masa bakti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden pada Oktober 2014.
“SBY dianggap telah menanam bom waktu dan memberikan “karpet merah” bagi ormas-ormas yang memperjuangkan khilafah sebelum mengakhiri masa jabatannya,” kata Petrus.
Lebih lanjut, Petrus menilai sejumlah pasal di dalam UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, membuat Negara tidak berdaya ketika hendak menindak ormas radikal dan intoleran yang memperjuangkan Khilafah. Karena itu Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu No.2 Tahun 2017 yang mengubah pasal-pasal “nakal” dari UU No. 17 Tahun 2013 tersebut.
Bersamaan dengan itu, menurut Petrus, visi dan misi FPI dengan mudah diterima pendaftarannya oleh Kemendagri era Gamawan Fauzi, pada 20 Juni 2014. Padahal visi dan misi FPI jelas bertentangan dengan Pancasila, namun dibiarkan berkembang selama bertahun-tahun dengan aksi-aksi anarkistisnya tanpa penindakan.
Pemerintah Gamang
Petrus menilai Pemerintah masih bersikap gamang menghadapi Front Pembela Islam (FPI), tidak seperti halnya ketika Pemerintah membubarkan HTI.
Menurutnya, janji pemerintah untuk mendalami visi dan misi FPI tentang “penerapan Syariat Islam secara kaaffah di bawah naungan khilaafah Islaamiyyah dan seterusnya,” sebagai sikap gamang dan terlalu dicari-cari. Pasalnya, sudah lima tahun visi dan misi FPI terdaftar di Kemendagri, namun tidak dilakukan pendalaman dan penindakan.
“Melihat sepak terjang FPI yang intoleran selama 15 tahun, melakukan tindakan anarkistis (persekusi dan sweeping) terhadap kelompok minoritas sebagai tindakan yang menjadi tugas dan kewenangan Penegak Hukum, mestinya sikap Pemerintah tidak hanya sekadar “tidak memperpanjang izin, melainkan langsung bubarkan FPI sesuai dengan tuntutan public,” ujar Petrus.
Petrus menilai sikap gamang Pemerintah terhadap FPI justru bertolak belakang dengan semangat pembentukan UU Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Ormas yang lahir melalui Perppu Presiden Jokowi No. 2 Tahun 2017, dimana terdapat kebutuhan mendesak untuk menjaga kehormatan dan kedaulatan negara yang ideologinya sedang terancam oleh ideologi Khilafah. (jpnn/fajar)