Mediaonline.co.id, JAKARTA – Tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang mengajukan judicial review (JR) atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK versi revisi) bersama 10 tokoh antikorupsi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah hukum tersebut akan menjadi ujian para hakim konstitusi.
Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai JR yang diajukan tiga pimpinan KPK dan koalisi masyarakat sebagai ujian terhadap para hakim konstitusi. Ia pun memandang, terdapat dua aspek yang membuat MK mengabulkan JR para pimpinan. Yakni aspek materi yang diajukan dan independensi para hakim konstitusi.
Khusus terkait independensi, Refly menyebut relasi antara kekuasaan dan institusi-institusi seperti MK bukan lagi rahasia umum. Maka, menurut dia, kesulitan yang dihadapi para hakim MK yakni mengepankan independensi dan marwah institusi dalam memutus JR tersebut.
“Kita tahu yang namanya relasi antara kekuasaan dan institusi-institusi lainnya itu sudah bukan rahasia umum. Itu tantangan bagi MK untuk benar-benar melihat ini,” kata Refly, Kamis (21/11).
Ia pun menyoroti langkah MK era kepemimpinan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD. Kala itu, kata dia, hakim konstitusi pernah membatalkan pasal-pasal yang memperlemah KPK atas dasar agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Mau mengabulkan atau tidak mengabulkan itu selalu ada alasannya, selalu ada argumennya. Pada sikap hakim dasar sendiri, dia mau mengabulkan atau tidak mengabulkan ada argumennya,” tuturnya.
Sementara Wadah Pegawai (WP) KPK mengapresiasi langkah hukum ketiga pimpinannya tersebut.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo memandang, langkah tersebut mewakili aspirasi masyarakat dalam melawan pelemahan terhadap KPK. Langkah itu juga dipandang sebagai tindakan negarawan atas upaya pelemahan KPK.
“Pegawai KPK mengapresiasi langkah pimpinan KPK dan tokoh nasional yang melakukan judicial review terhadap UU KPK. Sebagai tindakan negarawan yang mewakili aspirasi rakyat Indonesia yang khawatir nasib pemberantasan korupsi ketika KPK dilemahkan,” kata Yudi kepada awak media.
Yudi menyatakan hal itu karena menilai JR merupakan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk membatalkan UU KPK. Sambil menunggu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu KPK karena tengah menunggu hasil persidangan MK.
Yudi pun berharap, MK dapat mempertimbangkan langkah hukum yang ditempuh tiga pimpinan KPK bersama koalisi masyarakat. Ia menaruh harapan pada putusan yang dikeluarkan MK agar dapat sesuai dengan harapan masyarakat.
“Semoga putusan MK nantinya sesuai dengan harapan rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Sebelumnya, Koalisi masyarakat sipil yang menamai diri sebagai Tim Advokasi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan tiga diantaranya merupakan pimpinan KPK, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang.
Wakil ketua KPK Laode M Syarif menilai materi formil UU KPK hasil revisi masih banyak kesalahan. Atas dasar ini sebagai warga negara dan pimpinan KPK memberanikan diri menggugat UU KPK hasil revisi ke MK.
“Memang di dalam dokumen kami itu menjelaskan beberapa kaitan antara uji formilnya itu dengan beberapa isi yang ada di dalam UU KPK yang baru. Oleh karena itu maka yang kami minta adalah karena proses formilnya tidak sesuai dengan aturan UU dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, maka kami bisa jelaskan yang akhirnya banyak ada kesalahan di materil,” ucap Laode di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/11).
Laode menyebut, proses UU KPK hasil revisi tidak sesuai dengan UU yang berlaku. Sehingga hal ini diyakini melanggar hukum.
“Tetapi tujuan utama pengujian ini kami mengacu pada untuk menguji formilnya dulu. Karena kami melihat bahwa proses pembentukan UU revisi KPK tidak sesuai dengan syarat-syarat pembentukan UU,” pungkasnya.
Untuk diketahui, mereka yang menggugat UU KPK hasil revisi ke MK selain tiga pimpinan KPK diantaranya Erry Riyana Hardjapamekas, M Jasin, Omi Komariah Madjid, Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Fickar Hadjar, Abdillah Toha dan Ismid Hadad. (fin)