Mediaonline.co.id, MAKASSAR — Kapal Tiongkok terus membandel di laut Natuna. Pemerintah Indonesia harus bijak menyikapi ini. Satu-satunya jalan dengan menempuh jalur diplomasi.
Pengamat hukum internasional Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof S M Noor mengatakan, zona ekonomi eksklusif 200 mil itu memang bukan kedaulatan penuh. Navigasi internasional bebas melintas di daerah tersebut.
Hanya saja, Indonesia punya hak penuh terhadap pengelolaan sumber daya alam di laut Natuna. Makanya, tindakan yang dilakukan Tiongkok mendapat respons yang tegas dari Indonesia.
Noor menuturkan, Tiongkok mengklaim wilayah laut Natuna berdasarkan historis nine base line. Itu merupakan sejarah nenek moyang mereka yang katanya pernah melaut di sana.
“Panglima besar Tiongkok, Ceng Ho waktu itu berlayar di situ. Makanya mereka mengklaim itu wilayahnya. Itu pada abad ke-14,” tutur dia kepada FAJAR, Minggu malam, 5 Januari.
Hanya saja, klaim sejarah yang dilakukan Tiongkok tidak diakui oleh UNCLOS mengenai hukum laut. “Persoalannya sekarang karena mereka masih tetap memakai,” sambungnya.
Pada konferensi 1958, memang pengajuan Indonesia atas hukum negara kepulauan ditolak. Tetapi, pada tahun 1982 akses negara kepulauan Indonesia diterima. Kala itu, kata dia, Tiongkok ikut mendukung.
Dia menyarankan, penyelesaian persoalan ini bukan dengan mengerahkan kekuatan militer layaknya akan perang. Itu menurutnya merupakan langkah yang keliru.
“Yang harus kita lakukan adalah melakukan perundingan. Kita pakai jalur diplomasi untuk menyelesaikan persoalan ini. Bukan seperti mau perang,” sarannya.
Bahkan jika perlu, kedua negara membentuk komite khusus mengenai persoalan wilayah ini. “Kalau perlu ada semacam join riset. Masing-masing negara mengerahkan ahli mereka untuk merundingkan hal-hal itu,” tambahnya.
Pengamat hubungan internasional Universitas Fajar (Unifa), Andi Meganingratna menilai Tiongkok sedikit konfrontatif. Pasalnya mereka hanya mengklaim wilayah berdasarkan sejarah saja.
Karena itulah, mereka berani masuk ke laut Natuna, bahkan mengusir nelayan Indonesia. “Kita bisa lihat dari video yang beredar di media sosial. Mereka tidak mau pergi bahkan berusaha melawan,” ujarnya.
Menurutnya, ini memang mesti disikapi dengan tegas oleh pemerintah Indonesia. Hanya saja, bukan dengan saling menunjukkan kekuatan militer masing-masing negara.
“Pernyataan Menteri Pertahanan RI yang mengatakan bahwa Tiongkok itu adalah sahabat itu sudah merupakan sinyal bahwa penyelesaian sengketa ini akan lewat jalur diplomasi,” terangnya.
Langkah tersebut menurutnya memang tepat dilakukan. Akan sangat berbahaya jika langkah yang ditempuh melalui jalur militer. Apalagi, militer Tiongkok merupakan nomor tiga terbesar di dunia.
“Anggaran militer Tiongkok hampir 250 miliar dolar. Itu besar sekali dibandingkan dengan Indonesia yang cuma 6,9 miliar dolar,” imbuhnya. (ism/fajar)