Mediaonline.co.id, RANTEPAO — Keberadaan Harun Masiku buronan KPK terkait kasus suap komisioner KPU masih mengambang. Keluarganya pun memilih bungkam.
Rumpun keluarga Harun Masiku banyak di Lembang Tandung La’bo, Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara. Di kampungnya ini, warga tak mengerti apa masalah dan bagaimana proses hukum yang menimpa Harun.
Harun kini jadi tersangka kasus suap yang melibatkan oknum komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan.
Diketahui, Harun hanya pernah datang saat pesta pemakaman orang tuanya pada 2018, dan setahun kemudian untuk ziarah makam.
Salah seorang kerbatnya, Firman Pento Masiku memastikan Harun tak mungkin lagi ada di Toraja Utara. Ia tak ingin berspekulssi dengan berbagai dugaan tentang keberadaan Harun.
Kasus yang menimpa sepupunya, bagi seluruh keluarganya di Toraja Utara itu jadi keprihatinan yang mendalam.
“Iya kemungkinan kabur ke luar negeri dan kini jadi buruan aparat. Tetapi, itu bukan urusan kami. Kami prihatin dan berharap masalah Harun hanya korban. Kalau bisa dalam masalah ini, Harun bongkar tuntas termasuk pihak-pihak yang terlibat,” pintanya.
Harun menjadi orang membongkar kasus ini diatur dalam undang-undang. Harun bisa menjadi justice collaborator. Artinya; sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan penegak hukum. Ia pun bisa dilindungi dengan undang-undang.
Sementara itu, Henrianto Masiku, adik Harun, memilih untuk tidak banyak berkomentar. Staf pengajar sebagai dosen fakultas teknik di UKI Toraja itu hanya bisa berdoa untuk kebaikan kakaknya. Ia dan keluarganya pun mengaku tak tahu menahu keberadaan saudaranya itu sekarang.
“Kaget dan prihatin. Kami hanya bisa berdoa dan pasrah saja. Di mana keberadaan saudara saya, kami sama sekali tak tahu, maaf saya hanya bisa berkomentar seperti itu. Saya hanya berdoa untuk kebaikannya,” katanya seraya bergegas dengan alasan menjenguk keluarganya yang sakit di Rantepao, Minggu 18 Januari.
Sosok Harun
Siapa sesungguhnya Harun Masiku? Berdasar penelusuran FAJAR, Harun adalah alumnus SMPN 2 Watampone. Namanya tercatat dalam fotokopi sertifikat NEM SMP tahun pelajaran 1985–1986. Dia merupakan anak Johannes Masiku.
Dalam daftar nilai evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas) murni SMP, Harun mengikuti evaluasi tersebut pada 14 sampai 28 April 1986. Ada enam bidang studi yang telah diikuti. Yakni pendidikan moral Pancasila dengan nilai 8,23, bahasa Indonesia (7,06), ilmu pengetahuan alam (6,00), ilmu pengetahuan sosial (6,50), matematika (3,82), dan bahasa Inggris (4,68).
Saat itu ketua panitia ebtanas rayon SMP subrayon 22 adalah Palingrungi Abdullah. Namun, sejauh ini tidak ada lagi yang mengenal Harun di sekolah tersebut. Bahkan, tidak ada yang mengetahui bahwa dia terseret dalam sebuah kasus.
”Saya tidak tahu soal Harun Masiku. Sudah saya tanyakan ke beberapa teman, juga tidak ada yang tahu. Ternyata, setelah dicek, dia betul lulusan SMP Negeri 2 Watampone,” jelas Kepala Tata Usaha Hajra saat ditemui Fajar di sekolahnya.
Harun menghabiskan masa kecil dan remaja di Sulawesi Selatan (Sulsel). Dia menyelesaikan studi S-1 di Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada 1989. Menurut sumber Fajar, sejak mahasiswa Harun dikenal sebagai aktivis kampus meski tidak termasuk orang yang terlalu frontal.
Harun disebut pernah terlibat tawuran yang melibatkan mahasiswa fakultas teknik dengan sejumlah fakultas lain. Tawuran itu berujung pada terbakarnya laboratorium teknik perkapalan.
Insiden tersebut dikenang dengan sebutan Black September 1992.
Sumber FAJAR yang kini menjadi dosen Unhas tersebut mengakui sempat aktif berkomunikasi dengan Harun. Apalagi saat Harun menjadi caleg DPR dari Partai Demokrat melalui dapil Sulsel III. ”Tapi, setelah itu saya lama tidak berkomunikasi lagi,” ujarnya.
Wakil Dekan II FH Unhas Syamsuddin Muchtar mengaku baru mengenal nama Harun setelah kasusnya ramai di media. Selama ini Harun tidak pernah muncul sebagai alumnus untuk menyapa atau memberikan bantuan pembangunan kampus. ”Saya tidak bisa memberikan keterangan banyak soal Harun Masiku. Selama ini sering ada temu alumni, tapi dia tidak pernah hadir. Padahal, alumni yang berkiprah di Jakarta banyak yang kembali ke Makassar,” ungkapnya.
Sumber lain yang cukup dekat dengan Harun membeberkan, Harun beberapa kali datang ke Makassar. Dia selalu menggunakan mobil Toyota Camry bernopol B (Jakarta). ”Dulu sering ke Makassar dan dia selalu meminta bertemu saya,” kata sumber yang enggan namanya disebutkan itu.
”Kemudian, saat mau balik ke Jakarta, selalu dia minta uang tiket dan lainnya. Cukup dekat lah dulu,” sambungnya.
Status Harun yang pernah menjadi caleg DPR dari Demokrat pada 2014 dibenarkan Ilham Arief Sirajuddin (IAS). IAS saat itu menjabat ketua Demokrat Sulsel. ”Tapi, setelah tidak terpilih, sudah hilang juga entah ke mana,” katanya.
Mantan Wali Kota Makassar tersebut menerangkan, Harun dimasukkan sebagai caleg setelah menyebut nama salah satu orang besar. ”Saya ingat sekali, ada caleg DPR dari Demokrat terpaksa kami korbankan untuk memasukkan nama Harun,” ungkapnya.
Ketua Bappilu Demokrat Sulsel Selle Ks. Dalle mengatakan, tidak ada pengurus Demokrat Sulsel yang kenal dengan Harun. ”Dia lahir sampai kuliah memang di sini, tapi jadi caleg saat itu pakai jalur dari Jakarta. Tidak pernah berkarir politik di sini,” terangnya.
Hal yang sama diutarakan Sekretaris PDIP Sulsel Rudy Pieter Goni. Dia mengaku baru tahu nama Harun setelah ramai diberitakan media. ”Kami dari PDIP Sulsel tidak tahu sama sekali siapa dia,” ucapnya.
Serahkan diri
Sementara itu, di Kabupaten Toraja Utara, keluarga besarnya berharap Harun menyerahkan diri. Dia harus taat hukum. Apalagi, mendiang ayahnya, Johannes Masiku, merupakan seorang hakim yang dikenal baik. ”Dia juga kan paham hukum,” tutur sepupu Harun yang enggan namanya dikorankan kepada FAJAR.
Menurut dia, rumpun keluarga di Lembang Tandung Tabo, Kecamatan Sangelangi, Kabupaten Toraja Utara, sangat prihatin atas kasus Harun. Apalagi, mendiang ayah dan ibunya yang akrab dengan sapaan Mama Herman itu belum lama meninggal dunia. ”Kami siap pasang badan untuk Harun,” tegasnya lagi.
Keluarganya menduga Harun hanya tumbal para elite partai. Hal tersebut bermula saat pelantikan anggota DPR. Saat itu kerabat dekat Harun sudah diundang ke Jakarta untuk menghadiri pelantikannya. Tetapi, pelantikan tersebut tak pernah terjadi.
Riezky Aprilia yang berada di nomor urut 3 dengan perolehan suara terbanyak kedua, 44.402 suara, dianggap paling berhak.
Keluarganya juga melihat ada banyak kejanggalan dalam kasus tersebut.
Pertama, perolehan suara Harun hanya 5.878 suara. Itu berarti masih ada beberapa caleg di dapilnya yang lebih berhak menjadi anggota DPR. Selain Riezky Aprilia, ada nama Darmadi Jufri yang meraih 26.103 suara. Kemudian Doddy Julianto Siahaan dengan 19.776 suara dan Diah Okta Sari (13.310).
”Kami melihat ada yang aneh. Tidak mungkin dia dipaksakan dilantik dengan perolehan suara hanya sebesar itu,” cetusnya. (gun-taq-ful-fkt-sul-jpg/fajar)