Mediaonline.co.id, JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto mengatakan, masalah kesehatan di Indonesia cukup kompleks. Namun demikian ia menganggap, masalah tersebut sebagai peluang untuk segera diperbaiki.
“Saya melihat banyak peluang, saya gak pernah melihat masalah. Ini tantangan yang harus bisa saya selesaikan. Kalau melihat masalah nanti nglokro (ngeri), kalau melihat masalah itu peluang maka ada tantangan yang harus diselesaikan,” kata Terawan, Rabu (27/11)
Terawan mencontohkan, misalnya terkait permasalah BPJS Kesehatan. Baginya masalah tersebut sebagai peluang untuk diselesaikan dengan cepat.
“Kalau ini saya selesaikan dengan baik otomatis pelayanan kesehatan akan meningkat. Kalau semua dikerjakan secara sustainable maka semua akan nyaman,” ujarnya.
Selain itu, terkait stunting masih banyak daerah yang angka kasusnya masih tinggi. Hal itu menjadi kesempatan baginya untuk mengecek daerah tersebut soal kekurangannya.
“Beberapa kemungkinan penyebabnya antara lain, karena masalah ketersediaan bahan makan, kemampuan ekonomi, atau edukasi yang kurang kepada masyarakat,” tuturnya.
Tak hanya soal itu, Terawan menanggapi masalah penyakit menular dan penyakit tidak menular. Menurutnya, penyakit menular merupakan ancaman, bisa emerging atau reemerging disease.
“Kita lihat konteksnya, karena itu kita harus mengacu pada Inpres nomor 4 tahun 2019 mengenai ketahanan kesehatan nasional yang diterjemahkan dalam bentuk bagaimana mendeteksi, melakukan penanganan, surveilans. Semua ada di situ (Inpres nomor 4 tahun 2019),” katanya.
Sebagai contoh, lanjut Terawan, apabila penyakit menular masih menginfeksi binatang maka leading sektornya ada di Kementerian Pertanian (Kementan). Kecuali jika penyakit menular sudah menginfeksi manusia maka leading sektornya ada di Kemenkes.
Berbeda untuk penyakit tidak menular (PTM). Masalah PTM selain karena gaya hidup, juga diakibatkan masalah yang menyangkut pengetahuan.
“Di situlah yang paling utama adalah melakukan promtif dan preventif, bagaimana melakukan edukasi kepada masyarakat untuk melakukan pencegahan PTM. Yang paling utama justru edukasinya, karena itu edukasi preventif dan promotif bisa dilakukan mulai dari Puskesmas,” katanya.
PTM berkontribusi dalam beban ekonomi pada anggaran BPJS Kesehatan, dimana hal tersebut akan menjadi salah satu faktor yang memicu defisit BPJS sebesar Rp 28,5 triliun pada akhir tahun 2019.
Hasil riset Analisis Beban Penyakit Nasional dan Sub Nasional Indonesia Tahun 2017 yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) bekerjasama dengan Institute For Health Metrics and Evaluation (IHME) mengungkap bahwa 70% kematian dini di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM).
Seperti diketahui bersama, faktor penyakit tidak menular terkait erat dengan pola hidup tidak sehat, seperti makan tidak seimbang dan kurangnya aktivitas fisik.
dr. Asik, MPPM, Kepala Subdirektorat Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Kemenkes menyatakan, bahwa saat ini hampir semua faktor resiko penyakit jantung, seperti hipertensi, gula darah/diabetes, dan rokok meningkat, khususnya pada generasi muda.
“Kebiasaan-kebiasaan buruk seperti malas bergerak (mager) dan makan berlebih juga menjadi penyebab meningkatnya prevalensi penyakit ini di Indonesia dan membengkaknya pembiayaan BPJS,” katanya.
Dr. Asik juga menyatakan, bahwa pemerintah sudah mengutamakan gerakan pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Salah satunya melalui program POSBINDU (Pos Pembinaan Terpadu untuk Penyakit Tidak Menular), GERMAS (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat), dan CERDIK (Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin Olahraga, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat yang cukup, dan Kelola stress).
POSBINDU merupakan salah satu upaya pemerintah berbasis masyarakat, yang dilaksanakan sebagai tindakan dalam menanggulangi Penyakit Tidak Menular (PTM). Sedangkan GERMAS dan CERDIK merupakan usaha menggalakan hidup sehat sebagai tindakan preventif atas PTM.
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan prevalensi penyakit kardiovaskular atau Cardiovascular Diseases (CVD) di seluruh penduduk Indonesia pada semua usia adalah 1,5%, artinya 15 dari 1.000 orang di Indonesia menderita penyakit jantung.
Penyakit kardiovaskular juga merupakan tantangan utama dalam pelaksanaan Universal Health Coverage karena prevalensi yang semakin lazim dalam populasi, dan pada kondisi kronis, biaya pengobatan yang harus dikeluarkan cukup mahal.
dr. Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K) dari PERKI menjelaskan, mengenai faktor penyakit jantung. Secara garis besar, faktor resiko penyakit jantung dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu faktor resiko tradisional dan faktor non-tradisional.
Faktor resiko tradisional adalah, faktor resiko yang sudah diketahui banyak orang, seperti merokok, makanan, dan gaya hidup. Faktor resiko non-tradisional seperti adanya zat asing yang ada ditubuh dan menjadi pemicu penyakit jantung.
Di Indonesia sendiri, masyarakat sudah mulai paham mengenai penyakit jantung dan resikonya, tetapi yang kurang adalah kesadaran untuk mengaplikasikan upaya untuk gaya hidup sehat agar terhindar dari penyakit kardiovaskular.
“Jika tidak, meningkatnya penyakit ini menjadi kondisi yang lebih kronis dapat berdampak pada pembiayaan perawatan,” pungkasnya. (fin)