Mediaonline.co.id, JAKARTA – KPK menetapkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi senilai total Rp46 miliar, terkait dengan perkara di MA pada periode 2011-2016.
KPK sudah mengirimkan surat permintaan cegah terhadap Nurhadi agar tidak bisa bepergian ke luar negeri.
“Dalam proses penyidikan tersebut tim KPK telah mengirimkan surat pelarangan ke luar negeri pada pihak Imigrasi, yaitu terhadap 3 orang tersangka NHD (Nurhadi), RHE (Rezky Herbiyono) dan HS (Hiendra Soenjoto) selama 6 bulan ke depan terhitung sejak 12 Desember 2019,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Senin (16/12).
Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra selaku Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
“Penyidikan telah dilakukan sejak 6 Desember 2019, KPK pun telah mengirimkan pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada para tersangka,” ungkap Saut.
KPK sudah menggeledah rumah tersangka Hiendra di Jakarta dan menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik terkait dengan perkara.
“KPK juga telah melakukan pemeriksaan terhadap 9 orang saksi dari unsur direktur utama beberapa perusahaan swasta, PNS, dan pegawai bank,” tambah Saut.
Dikatakan Saut, KPK sangat berharap bahwa perkara tersebut dapat menjadi pembelajaran agar tidak ada lagi praktik mafia hukum ke depan, yaitu oknum-oknum yang diduga memperjualbelikan kewenangan, pengaruh dan kekuasaan untuk keuntungan sendiri.
“KPK sangat miris ketika harus menangani korupsi yang melibatkan pejabat dari institusi penegak hukum, terutama di institusi peradilan, khususnya Mahkamah Agung. KPK sangat berharap Mahkamah Agung benar-benar dapat menjadi tempat bagi masyarakat untuk mencari keadilan, sehingga diharapkan para penegak hukum dan pejabat lain yang ada di jajaran peradilan memahami hal tersebut sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara bersih tanpa korupsi,” tegas Saut.
Saut menjelaskan, KPK bersama Mahkamah Agung telah duduk bersama untuk berupaya melakukan pencegahan korupsi yang lebih serius, agar kepercayaan publik pada lembaga peradilan dapat dipulihkan dan tidak ada lagi praktik jual beli perkara.
Sebelumnya, Nurhadi juga terlibat dalam perkara lain yang ditangani KPK yaitu penerimaan suap sejumlah Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, yang berasal dari bekas Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro agar melakukan penundaan proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL).
Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, memang terdapat sejumlah irisan dua perkara tersebut.
“Memang ada beberapa saksi kunci untuk kasus yang lain yang ada irisannya dengan kasus ini tapi belum kami dapat. Sampai hari ini masih dicari. Seperti yang disampaikan Pak Saut kasus yang spesifik dan dipelajari secara seksama kami cukup yakin bukti yang didapatkan sudah jauh mencukupi untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Laode.
Laode pun mengaku tidak takut menghadapi kemungkinan gugatan oleh tersangka ke praperadilan terkait dengan UU KPK yang baru.
“Kita bukan soal takut dan tidak takut bahwa KPK masih memiliki kewenangan untuk menetapkan tersangka. Kita tetap berpedoman pada pasal 69 D yaitu sebelum ada Dewan Pengawas maka kita akan melakukan penindakan, delik yang disangkakan itu ada di UU Tipikor dan tidak diganti,” tambah Laode.
Nurhadi dan Rezky disangkakan pasal 12 huruf a atau huruf b subsider pasal 5 ayat (2) lebih subsider pasal 11 dan/atau pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dan penerimaan gratifikasi dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan Hiendra disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b subsider pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (ant/jpnn/fajar)